Puisi lahir dari imaji-imaji yang berkeliaran, juga lahir dari realitas-realitas sekitar yang diwarnai dengan khayal. Kata-katanya; kadang kaku walau tidak beku, kadang cair meskipun tidak mencair. Ia selalu hadir dalam lintasan sejarah, menjadi juang walau tidak pernah berjuang, menjadi senjata walau tidak mampu mematikan, atau hanya menjadi teman dalam sepi bagi yang selalu merasa kesepian. Buku antologi puisi “Hujan di Musim Kemarau” ini adalah rekaman peristiwa yang yang menarik untuk dikaji, diteliti, direnungi, dan diapresiasi. Bagaimana penulis mempermainkan kata biasa, menjadi bernada, dipenuhi nafas makna. Kata-kata mengalir deras dengan deburnya yang menari.